Hospital tanpa Hospitality
DALAM tiga bulan belakangan, saya mondar-mandir ke sejumlah rumah sakit. Di Palu, ayah saya dirawat beberapa waktu, hingga akhirnya ia minta dikeluarkan dari rumah sakit utama milik pemerintah, menjelang Lebaran tahun ini.
Di Jakarta, tiga kerabat dekat (adik ipar perempuan, mertua laki-laki dan mertua perempuan) dan putri bungsu, membuat saya memiliki cukup waktu mengamati denyut berbagai rumah sakit. Berikut sekadar catatan dan kesan saya.
Pertama, secara medik, para dokter dan paramedis kita kemampuannya telah lumayan. Terbukti, putri saya berangsur pulih setelah ditangani oleh para juru rawat beserta dokter spesialis.
Di berbagai rumah sakit bahkan diadakan simposium, workshop, seminar, diskusi sampai talk show terkait perkembangan metode dan teknologi kesehatan mutakhir.
Kedua, penataan ruang (baik interior maupun exterior, termasuk berbagai fasilitas penunjang) masih terlalu kaku. Ini meneguhkan kesan angker. Dan, penataan ruang dan wajah arsitektural kaku serta seadanya (untuk tidak menggunakan kata sembarangan) bertalian dengan peluang sehat atau tidaknya penderita.
Betapa sempitnya ruang-ruang di rumah sakit. Toilet (kecuali di beberapa rumah sakit swasta mahal), baik untuk umum maupun kamar rawat inap, tidak terurus secara optimal. Lift yang kusam. Tempat parkir yang ruwet. Tempat penjual minuman, makanan, atau penganan yang penataannya menjauhi estetika.
Ketiga, komersialisasi berlebihan yang memanfaatkan keawaman pasien dan keluarganya. Petugas medis dan staf nonmedis jamak memberikan pilihan memojokkan.
Alih-alih mencari jalan keluar yang efektif, apatah lagi efisien; keluarga pasien lebih merasa ditakut-takuti ketimbang dinasihati. Rentetan nasihat mereka lebih terdengar sebagai jalan buntu ketimbang jalan keluar. Bahkan, ada rumah sakit yang melarang keluarga pasien membawa perlengkapan tidur saat menjaga; karena mereka menyewakannya.
Yang disajikan sejumlah kemungkinan berujung pada aneka jenis layanan (medik ataupun nonmedik), ujungnya terkait dengan naiknya pembiayaan. Jika keluarga pasien terlihat menimbang-nimbang, mereka tak segan menjelaskan aspek-aspek yang menakutkan jika saran tersebut tidak diambil. Sambil menutupnya dengan kalimat, "Kami tidak bertanggung jawab jika situasinya memburuk lho!".
Sekilas, apa yang mereka paparkan terkesan membantu dan bertanggung jawab. Namun, jika dilihat dari sudut keluarga pasien, hal itu gabungan antara lepas tangan dan pemojokan. Kemungkinan dalam kemampuan membayar akan ditelisik dengan rincian yang terlatih dan sempurna.
Rangkaian proses administrasi (bisa dibaca sebagai aktivitas bayar-membayar) berlangsung dalam nuansa transaksi yang kering dan ketat. Sulit membedakannya dengan transaksi di sektor perdagangan atau jasa lainnya.
Terkait dengan kenyataan itu, poin keempat dari kondisi faktual rumah sakit kita adalah merosotnya derajat ketulusan dan keramahan.
Betapa kering senyum mereka (bahkan ketus bagi penghuni kamar rawat murah) saat memeriksa tekanan darah, menanamkan/menyabut jarum infus, memberi obat, dsb. Di beberapa tempat, jika menegur pengunjung, bagian pengamanan segalak satpam bank.
Padahal, inti dari pengelolaan rumah sakit adalah ketulusan dan keramahan. Bukankah proses penyembuhan dan penyehatan tidak semata ditentukan oleh obat, ketrampilan, dan teknologi medis? Apa jadinya hospital tanpa hospitality?
Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI [L1]