Showing posts with label Disease. Show all posts
Showing posts with label Disease. Show all posts

Friday, December 14, 2007

Hepatitis C

Hepatitis C

Hepatitis C virus is the most common chronic blood borne infection in the United States with an estimated 4.1 million American infected. World-wide there is an estimated 170 million persons chronically infected. The number of new infections per year has declined from 240,000 in the 1980s to 26,000 in 2004.

Potential risk factors include contact with infected blood, instruments or needles - such as IV drug users, health care workers, or public safety workers. Additional potential risk factors include intranasal cocaine use, tattooing and body piercing. Before 1992 the hepatitis C virus was also transmitted through blood transfusions. All blood is now tested for the presence of the virus. The risk post-transfusion has been estimated to be reduced to 0.001% per unit transfused.

Because infection with the virus can be asymptomatic or have vague symptoms, as many as 60% of individuals infected are unaware that they carry the virus. Many are found as a result of routine blood tests. Chronic hepatitis C is a slowly progressive disease that may gradually advance over 10-40 years. When it is acquired in later life there is some evidence that it may progress faster. In those with cirrhosis due to hepatitis C there is an associated increase in the chance of developing hepatocellular carcinoma. Drinking alcohol can make the liver disease worse.

There is no vaccine to prevent hepatitis C. The best prevention is not to use IV drugs, not to share needles, razors, or toothbrushes. Think about the risks if you are thinking about getting a tattoo or body piercing; and get vaccinated against hepatitis B.

According to the Centers for Disease Control and Prevention (CDC), there is an association between sexual exposure to someone with a history of hepatitis, or exposure to multiple sex partners and contraction of hepatitis C. Women with hepatitis C do not need to avoid pregnancy or breast-feeding according to the CDC. Expectant and new parents should be advised that approximately 5 out of every 100 infants born to HCV infected females might be infected. HCV-positive mothers should consider abstaining from breast-feeding if their nipples are cracked or bleeding.

Currently there are FDA-approved treatments for hepatitis C. Hepatitis C positive patients should be evaluated by their physicians for liver disease.

References:
1. The American Liver Foundation Fact Sheet on Hepatitis C http://www.liverfoundation.org/
2. Center for Disease Control Fact sheet on Hepatitis C. http://www.cdc.gov/
Find out more about gastrointestinal disorders with The GI System in Detail: http://www.ed4nurses.com/gi-in-detail.htm

By: Patti Radovich, MSN, RN, FCCM
Clinical Nurse Specialist Consultant to Ed4Nurses, Inc.
www.Ed4Nurses.com

Ed4Nurses, Inc.
571 Ledge Road
Macedonia, OH 44056

Friday, August 10, 2007

Kusta

1. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi dengan tanda di kulit
2. Cara Penularan
Penyakit ini dapat ditularkan melalui udara yang mengandung kuman leprae yang dihirup oleh manusia atau bersentuhan langsung dengan luka penderita kusta tipe basah.
3. Jenis/Type Penyakit Kusta
a. Tipe MB (Tipe Basah),
Merupakan tipe yang dapat menularkan kepada orang lain. Dengan tanda - tanda :
· Bercak keputihan atau kemerahan tersebar merata diseluruh badan.
· Dengan atau tanpa penebalan pada bercak
· Pada permukaan bercak, sering masih ada rasa bila disentuh dengan kapas.
· Tanda-tanda permulaan sering berupa penebalan kulit kemerahan pada cuping teling dan muka.
b. Tipe PB ( Tipe Kering)
Tipe ini tidak menular tetapi dapat menimbulkan cacat bila tidak segera diobati. Tanda-tandanya : bercak putih seperti paru yang mati rasa, artinya bila bercak tersebut disentuh dengan kapas tidak terasa atau kurang terasa.
4. Pengobatan
Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan/kutukan.Tipe MB lama pengobatan : 12 - 18 bulan.Tipe PB lama pengobatan : 6 - 9 bulanPengobatan Kusta dapat dilakukan pada Puskesmas/Rumah Sakit/ UPK yang melakukan pengobatan kusta. Semua pengobatan kusta di Puskesmas/UPK/Rumah Sakit di dapat secara gratis.
5. Kewaspadaan Masyarakat
Bila masyarakat / tetangga dilingkungan tetangga terdekat menemukan gejala atau tanda penyakit tersebut diatas segera dibawa ke Puskesmas/UPK/Rumah Sakit untuk mendapat pengobatan.

Thursday, July 12, 2007

TUBERKULOSIS

1. Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.

2. Gejala Penyakit
Gejala penyakit tuberkulosis adalah : batuk lebih dari 3 minggu, demam, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan, berat badan menurun.

3. Cara Penularan
Penyakit ini dapat tertular kepada orang melalui udara yang mengandung kuman tbc.

4. Kewaspadaan Masyarakat
Bila masyarakat menjumpai anggota keluarga atau tetangga dilingkungan dengan gejala diatas segera dibawa ke Puskesmas untuk pemeriksaan dahak si penderita.

5. Pencegahan Penyakit
Pencegahan dilakukan dengan :
· Perbaikan gizi
· Pengadaan rumah sehat dengan ventilasi yang memadai.
· Perilaku hidup bersih dan sehat

6. Pengobatan
Pengobatan tergantung kepada tipe penderita (baru, do, gagal dan kambuh). Pada pemeriksaan pertama kali di Puskesmas pasien dikenai biaya administrasi, tetapi setelah diketahui pasien positip tb maka penderita tidak dikenai biaya pengobatan dan obat gratis.

7. Sistem Kewaspadaan Dini
Penderita yang positip Tb setelah pemeriksaan dahak, akan dilakukan kunjungan ke rumah penderita untuk pemeriksaan kontak serumah.

09-02-2006

Saturday, February 17, 2007

Ada Kaitan Malaria dengan HIV/AIDS

[JAKARTA] - Para ilmuwan yang bertugas di Kenya menemukan kaitan antara malaria dan penyebaran virus penyebab sindrom menurunnya kekebalan tubuh (AIDS) di Afrika.

Hasil studi yang dimuat dalam jurnal Science itu menyebutkan, ketika orang dengan HIV/AIDS tertular malaria, virus penyakit itu di dalam tubuhnya menjadi lebih kuat sehingga kemungkinan penderita itu menularkan ke pasangannya menjadi lebih besar.

"Faktor biologi yang didorong oleh malaria itu menyebabkan penyebaran HIV melalui hubungan seksual kemungkinan menjadi semakin mudah," kata Laith Abu-Raddad, salah seorang peneliti di Kenya, dalam studi oleh Pusat Penelitian Kanker Fred Hutchinson dan Universitas Washington.

Terkait penemuan itu, ahli mikrobiologi virus dari Universitas Airlangga CA Nidom ketika dihubungi Pembaruan menjelaskan, dalam perjalanannya virus akan mengalami proses adaptasi. Bila ditemukan bahwa parasit malaria telah memberi ruang gerak bagi HIV untuk berkembang biak, ada dua hal yang bisa ditinjau. Pertama, perlakuan apa yang diberikan kepada virus ini sehingga bisa menjadi lebih berkembang ketika orang dengan HIV/AIDS (ODHA) terkena malaria. Kedua, perlakuan apa yang selama ini dilakukan untuk memberantas malaria, tetapi justru membuat virus itu bisa berkembang.

"Perlakuan apa pun harus memperhatikan penyakit yang lain. Tidak otomatis ODHA kalau kena malaria langsung parah," katanya.
Sejauh ini, ungkapnya, belum ada jawaban yang pasti tentang apakah nyamuk bisa bersifat sebagai transmiter untuk HIV, sementara data lain menyebutkan semakin banyak penularan HIV melalui jarum suntik.
Untuk mencegah penularan HIV yang semakin cepat, ada tiga hal yang bisa dilakukan. Pertama, perlakuan terhadap HIV agar perkembangan plasmodium teratasi. Kedua, pemberantasan malaria sehingga HIV tidak berkembang. Ketiga, berkaitan dengan faktor nyamuk yang dapat menjadi transmiter HIV.

Sementara itu, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Samsuridjal Djauzi yang menekuni HIV/AIDS mengemukakan, penelitian menunjukkan bahwa penularan HIV/AIDS masih disebabkan oleh hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik secara bergantian. Sedangkan penyebab kematian ODHA di setiap negara sangat dipengaruhi oleh jenis penyakit yang diderita negara tersebut.

Di Indonesia, tuturnya, penderita HIV/AIDS justru diperparah oleh adanya kuman tuberkulosis (TB). "Di Indonesia angka kejadian TB termasuk tinggi, sehingga penyebab kematian pada penderita HIV/AIDS paling tinggi adalah TB. Bagi ODHA yang kekebalan tubuhnya menurun, kuman itu menjadi aktif kembali sehingga peningkatan TB di HIV menjadi meningkat sekali," paparnya.

Menurut dia, bila di suatu daerah terjadi endemik malaria, bisa saja menjadi penyebab kematian yang paling tinggi di kalangan ODHA. Malaria sendiri bisa diderita karena parasit malaria memang ada di dalam tubuh, atau ada juga yang terkena di saat kekebalan tubuhnya menurun.

Di Indonesia, setelah TB, infeksi paling banyak yang mengakibatkan kematian pada ODHA adalah jamur dan toksoplasma. [A-22]

this article was taken from Suara Pembaruan, 11 Dec 2006

Wednesday, December 27, 2006

Mencegah Gula Darah Rendah

Mencegah Gula Darah Rendah

Minggu, 10 Desember 2006

Ibu saya sudah tujuh tahun ini menderita diabetes melitus. Beliau cukup patuh pada diet dan juga rajin minum obat penurun gula darah. Hanya saja, karena usia beliau yang sudah 67 tahun, maka kegiatan olahraga kurang berjalan.
Beliau lebih banyak di rumah dan berolahraga hanya dengan berjalan kaki mengelilingi halaman rumah yang cukup luas.
Selama menderita kencing manis, beliau pernah dua kali dirawat di rumah sakit. Perawatan pertama atas alasan infeksi paru (pneumonia) dan juga gula darah yang meningkat. Beliau dirawat sekitar 10 hari dan dapat aktif kembali setelah itu.
Perawatan kedua baru saja dua minggu lalu karena rasa lemas dan banyak keringat yang ternyata disebabkan penurunan gula darah berlebihan (hipoglikemia). Selama ini memang beliau rajin memeriksa gula darah, baik ke laboratorium, biasanya sebulan sekali, maupun menggunakan alat pengukur gula darah di rumah.
Beliau amat khawatir jika gula darahnya di atas yang dianjurkan dokter sehingga jika lebih tinggi, beliau biasanya mengurangi makan agar gula darah tersebut masuk ke kategori terkendali. Beliau minum obat penurun gula darah setiap pagi satu tablet.
Sewaktu perawatan kedua, dokter telah menjelaskan secara sepintas faktor penyebab gula darah rendah dan cara penanggulangannya. Namun, penjelasan tersebut disampaikan kepada adik saya yang kebetulan tidak serumah dengan ibu. Saya berusaha mendapat informasi dari adik saya cara mencegah penurunan gula darah agar ibu tak mengalami hipoglikemia berulang, tetapi penjelasan tersebut tidak lengkap sehingga saya mohon Dokter menginformasikan penyebab, bahaya, dan cara penanggulangan hipoglikemia.
Apakah ada brosur tertulis yang dapat menjadi pegangan bagi keluarga penderita diabetes melitus agar keadaan hipoglikemia dapat dicegah? Atas perhatian Dokter, saya ucapkan terima kasih.

J di B
Salah satu tujuan terapi diabetes melitus adalah mencapai gula darah yang terkendali. Jika gula darah terkendali baik, diharapkan komplikasi kronik diabetes melitus dapat dikurangi.
Kriteria pengendalian gula darah pada keadaan puasa adalah 80-120 mg/dl (baik), 120-140 mg/dl (sedang), dan jika >140 mg/dl termasuk kurang terkendali. Sementara gula darah pada keadaan dua jam setelah makan adalah 120-160 mg/dl (baik), 160-200 mg/dl (sedang), dan >200 mg/dl (kurang). Selain pengendalian gula darah, hendaknya juga dikendalikan berat badan, tekanan darah, dan kadar lemak.
Pemeriksaan gula darah memang dapat dilakukan juga di rumah, tetapi hendaknya cara memeriksa sendiri dengan alat glukometer perlu dipahami dengan baik. Sehabis membeli alat, tanyakan cara yang benar untuk menggunakannya. Hasil pemeriksaan ada baiknya secara berkala dibandingkan dengan hasil gula darah yang diperiksa di laboratorium.
Penyebab penurunan gula darah paling sering adalah obat penurun gula darah, baik berbentuk tablet (yang sering obat golongan sulfonilurea) maupun suntikan insulin. Penyebab lain, makan kurang dari yang dianjurkan, berat badan turun, dan olahraga berlebihan.
Obat penurun gula darah atau takaran suntikan insulin yang dianjurkan dokter telah disesuaikan dengan asupan kalori makanan dan kegiatan sehari-hari. Jika asupan makanan berkurang, sedangkan dosis obat penurun gula darah tetap, akan timbul risiko hipoglikemia.
Gejala hipoglikemia dapat timbul ringan sampai berat. Gejala yang ringan berupa mual, lemah, lesu, dan keringat dingin. Gejala berat dapat berupa penurunan kesadaran. Obat penurun gula darah dapat memberi tanda hipoglikemia lebih berat dan dapat lebih dipastikan serangan hipoglikemianya.
Jika gejala-gejala tadi timbul, harus juga segera diperiksa gula darah penderita. Tanda hipoglikemia biasanya muncul bila gula darah <50 mg/dl, meski adakalanya gejala hipoglikemia sudah timbul meski gula darah di atas 50 mg/dl.
Pengobatan hipoglikemia jika pasien masih sadar adalah dengan pemberian gula murni dua sendok makan (30 g) atau sirop, permen, dan makanan yang mengandung karbohidrat. Sementara pada keadaan lebih berat (kesadaran menurun) penderita harus segera ditolong di rumah sakit agar dapat diberikan larutan glukosa 40% melalui pembuluh darah vena dan dilanjutkan dengan infus glukosa 10%. Keterlambatan dalam memberikan pertolongan akan berakibat gangguan fungsi otak.
Jadi, jika ada gejala hipoglikemia, segera bawa pasien ke rumah sakit terdekat. Sudah tentu yang penting adalah mencegah terjadinya hipoglikemia.
Kehidupan penderita yang teratur, baik dalam pola makan, minum obat, maupun olahraga, amat membantu. Selain itu, perlu dipahami cara minum obat atau menyuntik insulin yang benar. Sekarang banyak tersedia informasi dalam bentuk buku petunjuk penatalaksanaan diabetes melitus.
Salah satu buku yang mudah dicerna adalah buku Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu yang diterbitkan Pusat Diabetes dan Lipid RS Cipto Mangunkusumo (021-3907703). Nah, mudah-mudahan informasi ini bermanfaat bagi Anda sekeluarga.
(this article was taken from a health forum in an online newsletter)-- just click the provided link here!

Sunday, December 03, 2006

World AIDS Day message




Dr Anders Nordstrom,
Acting Director-General1 December 2006

World AIDS Day message

The HIV/AIDS epidemic continues to grow. Some 40 million people, their families, and their communities, are now living with HIV. Effectively tackling this epidemic remains one of the world's most pressing public health challenges.
In August this year, at the XVI International AIDS Conference, 30 000 of us came together in Toronto in reply to the Conference's call to action. That action, we agreed, must reflect a balanced mix of prevention, treatment and care. This year's World AIDS Day theme "Accountability" reminds us again of our responsibility for making the right choices.
In Toronto, I spoke on the three areas in which we had to take action: the three "Ms" of Money, Medicines and a Motivated workforce.

Money: We have made some important progress and continue to do so. For example, just over half of the latest round of grants from the Global Fund - which totalled US$846 million - will go to fight HIV/AIDS. Continued commitment is needed and resources must be used effectively. Accountability is an important theme for those who want to see the best possible results in terms of human lives.

Medicines: Our goal remains to scale up international efforts to provide universal access to prevention, treatment, care and support services.The ten-fold increase in people on treatment in sub-Saharan Africa in recent years shows that we can do it. Sub-Saharan Africa also illustrates what still has to be done: it represents 70% of the global unmet need for treatment.
We have a very long way to go still in the provision of medicines to those who need them. To be able to do that, we must also know who needs treatment and care.
The latest AIDS epidemic update from WHO and the UNAIDS Secretariat, released on 21 November, gives us the most accurate picture of the epidemic to date. HIV surveillance remains weak in almost all regions, particularly among marginalized groups. Those at highest risk—men who have sex with men, sex workers, and injecting drug users—are not reliably reached through HIV prevention and treatment strategies.
At the Toronto Conference there was a powerful drive to address the needs of those who bear the greatest burden of the AIDS epidemic - women and girls. Some 40% of new HIV infections now occur among young people aged between 15 to 24 years. The most striking increases in the number of people living with HIV have occurred in East Asia, Eastern Europe and Central Asia.
Those most at risk of exposure to HIV do not always know how to protect themselves and often do not have access to the means to do so, such as condoms, clean needles and syringes, and treatment for sexually transmitted infections. Levels of knowledge of safer sex and HIV remain low in many countries, as well as perceptions of personal risk. Even in countries where the epidemic has a very high impact, such as Swaziland and South Africa, a large proportion of the population do not believe they are at risk. Where prevention efforts decline, HIV infects more people.
Counselling and testing are essential so that people who are infected can know their status, seek care, and using their increased knowledge, change their behaviours to prevent transmission of the virus to others. Those who are tested can also use knowledge of their status to protect themselves.

A Motivated health workforce: Motivated and skilled health workers who can provide essential services are the crucial missing link in many countries. WHO's "Treat, Train Retain" plan for a healthy and well supported healthcare workforce is being developed now in 15 countries.
Prevention works but has to be focused on the needs of those most likely to be exposed to HIV, and it must be sustained. There are success stories. In 8 out of 11 of some of the world's most affected countries, HIV prevalence in the age group 15 to 24 years has declined in the past five years. We must seize on these successes and see that they are repeated.
We know that comprehensive harm reduction programmes reduce risky drug injecting practice and result in declines in HIV infection rates. Effective responses are being implemented in many countries, ranging from Brazil and China to the Islamic Republic of Iran and Indonesia. These experiences provide good models for other countries.
Another key element in the epidemic - Tuberculosis - has recently drawn increased attention with the development of an extremely drug resistant form that signals the urgent need for TB control. TB causes up to half of all deaths in people living with HIV.
The AIDS epidemic provides us with clear evidence that even some of the most complex health and development problems can be successfully addressed. To see this positive pattern repeated everywhere will take greater political will and more resources.
Our ability to be responsive to changes in the epidemic is a central factor if we are to succeed. We have to be constantly alert to shifts in the epidemic dynamic and country contexts, aware of which approaches are successful, and flexible enough to adapt our responses accordingly. We do not just need "more". We need to commit to clear sightedness about what is working and what is not - and quickly apply that knowledge.
For example, recognizing the critical role that vulnerable and marginalized populations play in the epidemic, we need to invest in models of service delivery that reach these groups, ensure equitable and quality services, and are able to provide sustainable support to the most affected communities.
We are now more than 25 years into this epidemic. People living with HIV and their communities urgently need to see tangible results. We are at a critical juncture. Just last week, Secretary-General Kofi Annan inaugurated the new joint UNAIDS/WHO building in Geneva. It is a building which now houses the HIV, TB and Malaria staff of WHO, side by side with the UNAIDS team. Nothing more clearly symbolises our determination to work as a team. It is a commitment to collaboration, and with that comes our commitment also to accountability: to all those currently living with HIV, and to all those whose lives must be protected from it.


For more information, please contact:
Christine McNabActing Director, WHO Communications Department
Telephone: +41 22 791 4688
Mobile: +41 79 254 6815

Tuesday, November 21, 2006

Campak

Campak

Program pencegahan dan pemberantasan campak di Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB). Hasil pemeriksaan sample darah dan urine penderita campak pada saat KLB menunjukkan, Igm positip sekitar 70–100 persen. Selama 1992–1998, berdasarkan laporan rutin Puskesmas dan rumah sakit (kelengkapan laporan rata-rata Puskesmas sekitar 60 persen dan rumah sakit 40 persen) rata-rata kejadian untuk semua kelompok umur cenderung menurun. Tapi selama 1997-1999, menjadi cenderung meningkat. Kemungkinannya berkaitan dengan dampak krisis pangan dan gizi. Hanya saja, hal itu belum diteliti.

Sidang WHA 1988, menetapkan kesepakatan global untuk membasmi polio atau Eradikasi Polio (Rapo), Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) dan Reduksi Campak (RECAM) pada 2000. Amerika, Australia dan beberapa negara lainnya telah memasuki tahap eliminasi campak. Pada sidang CDC/PAHO/WHO 1996 menyimpulkan, campak dimungkinkan untuk dieradikasi, karena satu-satunya pejamu (host) atau reservoir campak hanya pada manusia dan adanya vaksin dengan potensi yang cukup tinggi dengan effikasi vanksin 85 persen. Diperkirakan eradikasi akan dapat dicapai 10–15 tahun setelah eliminasi.
Program imunisasi campak di Indonesia sendiri dimulai pada 1982 dan masuk dalam pengembangan program imunisasi. Pada 1991, Indonesia dinyatakan telah mencapai UCI secara nasional. Keberhasilan Indonesia itu memberikan dampak positif terhadap kecenderungan penurunan kejadian campak, khususnya pada Balita dari 20.08/10.000 – 3,4/10.000 selama 1992–1997. Walaupun imunisasi campak telah mencapai UCI, di beberapa daerah masih terjadi KLB campak, terutama di daerah dengan cakupan imunisasi rendah atau daerah kantong.

Tentu saja, di beberapa desa tertentu masih sering terjadi KLB campak. Asumsi terjadinya KLB campak di beberapa desa, itu datang karena cakupan imunisasi yang rendah (90 persen) dan masih rendahnya vaksin effikasi di desa itu. Rendahnya vaksin effikasi itu dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya pengelolaar yang kurang baik: rantai dingin vaksi dibawa kelapangan, penyimpanan vaksin di Puskesmas, cara pemberian imunisasi kurang baik dan lainnya.
Selama 1998-1999, berdasarkan hasil penyelidikan lapangan KLB campak yang dilakukan Subdit Surveilans dan Daerah, kasus-kasus campak lantaran belum mendapat imunisasi cukup tinggi, mencapai sekitar 40–100 persen dan mayoritas adalah balita (>70 persen).
Sementara itu, selama 1994-1999, frekuensi KLB campak berdasarkan laporan seluruh provinsi se-Indonesia ke Subdit Surveilans lewat laporan (W 1), berfluktuasi dan cenderung meningkat pada periode 1998–1999: dari 32 kejadian menjadi 56 kejadian. Angka frekuensi itu sangat dipengaruhi intensitas laporan W1 dari provinsi atau kabupaten/kota. Daerah-daerah dengan sistern pencatatan dan pelaporan Wl yang cukup intensif dan mempunyai kepedulian cukup tinggi terhadap pelaporan Wl KLB, mempunyai kontribusi besar terhadap kecenderungan meningkatnya frekuensi KLB campak di Indonesia, seperti Jawa Barat, NTB, Jambi Bengkulu dan Yogyakarta.
Dari sejumlah KLB yang dilaporkan ke Subdit Surveilans, diperkirakan KLB campak sesungguhnya terjadi jauh lebih banyak. Artinya, masih banyak KLB campak yang tidak terlaporkan daerah dengan berbagai kendala. Walaupun frekuensi KLB campak yang dilaporkan itu mengalami peningkatan, tapi jumlah kasusnya cenderung menurun dengan rata-rata kasus setiap KLB selama 1994–1999, yaitu sekitar 15–55 kasus pada setiap kejadian. Berarti besarnya jumlah kasus setiap episode KLB campak selama periode itu, rata-rata tidak lebih dari 15 kasus.
Dari 19 lokasi KLB campak yang diselidiki Subdit Surveilans, daerah dan mahasiswa FETP (UGM) selama 1999, terlihat attack-rate pada KLB campak dominan pada kelompok umur balita. Angka proporsi penderita pada KLB campak 1998–1999 juga menunjukkan proporsi terbesar pada kelompok umur 1–4 tahun dan 5–9 tahun bila dibandingkan kelompok umur lebih tua (10–14 tahun).
Pada kelompok KLB campak telah dilakukan pengambilan spesimen serologis dan urine untuk memastikan diagnosa lapangan dan mengetahui virus campak. Hasil pemeriksaan sampel serologis dan urine penderita campak pada 12 lokasi KLB campak di beberapa daerah selama 1998–1999 yang diperiksa Puslit. Penyakit Menular Badan Litbangkes RI, menunjukkan IgM positif sekitar 70–100 persen. Angka itu mengindikasikan ketajaman diagnosa campak di lapangan pada saat KLB berlangsung.
Angka fatalitas kasus (AFP atau CFR) campak di rumah sakit dan pada saat KLB terjadi selama 1997–1999 cenderung meningkat, masing-masing dari 0,1–1,1 persen dan 1,7–2,4 persen. Memang, kecenderungan peningkatan CFR ini perlu pengkajian yang mendalam dan komprehensif.

Apa dan Bagaimana Mengatasi Campak?
Campak adalah penyakit yang sangat menular pada masa anak-anak dan juga menyerang orang dewasa. Gejala-gejala campak cukup menakutkan dan anak-anak yang kurang gizi mudah terserang komplikasi yang fatal. Penyebab penyakit ini adalah infeksi virus rubeola yang kemudian ditularkan lewat batuk, bersin dan tangan yang kotor oleh cairan hidung.
Gejalanya:
- Demam tinggi, paling tinggi dicapai setelah 4 hari
- Bintik putih pada bagian dalam pipi di sebelah depan gigi premolar
- Mata merah, berair
- Tenggorokan sakit, pilek, batuk yang khas kering dan keras
- Pada beberapa anak terdapat muntah-muntah dan diare
- Bintik yang khas ini muncul di belakang telinga, menyebar ke muka kemudian ke seluruh badan.

Komplikasinya:
- Infeksi telinga bagian tengah
- Bronkhitis (infeksi saluran pernafasan bagian bawah)
- Pneumonia (infeksi paru-paru)
- Encephalitis (radang otak)

Yang bisa kita lakukan adalah:
- Tinggal dirumah sampai penyakit tidak menular lagi
- Istirahat dan minum banyak cairan
- Minum obat anti demam
- Minum obat batuk
- Periksa dokter, bila menderita sakit telinga, keluar cairan dari telinga, demam terus-menerus, kejang-kejang atau mengantuk

Tindakan dokter:
- Menyingkirkan komplikasi
- Mengobati komplikasi bila ada
- Merujuk ke rumah sakit bila perlu.

Pencegahannya:
imunisasi terhadap penyakit campak pada umur 1-2 tahun

Pemberantasan campak meliputi beberapa tahapan, dengan kriteria pada tiap tahap yang berbeda-beda:
a. Tahap reduksi campak yang dibagi dalam dua tahap:
- Tahap pengendalian campak. Pada tahap ini terjadi penurunan kasus dan kematian, cakupan imunisasi >80 persen, dan interval terjadinya KLB berkisar antara 4–8 tahun.
- Tahap pencegahan KLB. Pada tahun ini cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, dan interval terjadinya KLB relative lebih panjang.
b. Tahap Eliminasi Pada tahap eliminasi, cakupan imunisasi sudah sangat tinggi (>95 persen), dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah ternadi. Anak-anak yang dicurigai tidak terlindung (susceptible) harus diselidiki dan mendapat imunisasi tambahan.
c. Tahap Eradikasi Cakupan imunisasi tinggi dan merata, dan kasus campak sudah tidak ditemukan. Transmisi virus sudah dapat diputuskan, dan negara-negara di dunia sudah memasuki tahap eliminasi.

Pada TCG Meeting, Dakka, 1999, menetapkan Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pencegahan terjadinya KLB. Reduksi campak bertujuan menurunkan angka insidens campak sebesar 90 persen dan angka kematian campak sebesar 95 persen dari angka sebelum program imunisasi campak dilaksanakan. Di Indonesia, tahap reduksi campak dengan insiden diperkirakan menjadi 50/10.000 balita dan kematian 2/10.000 (berdasarkan SKRT 1982).

Reduksi campak sendiri mempunyai lima strategi, yaitu:
- Imunisasi Rutin 2 kali, pada bayi 9-11 bulan dan anak Sekolah Dasar Kelas I (belum dilaksanakan secara nasional) dan Imunisasi Tambahan atau Suplemen.
- Surveilans Campak.
- Penyelidikan dan Penanggulangan KLB
- Manajemen Kasus
- Pemeriksaan Laboratorium

Tapi, surveilans dalam reduksi campak di Indonesia masih belum sebaik surveilans eradikasi polio. Kendala utama yang dihadapi adalah kelengkapan data atau laporan rutin rumah sakit dan Puskesmas yang masih rendah, beberapa KLB campak yang tidak terlaporkan, pemantauan dini (SKD–KLB) campak pada desa-desa berpotensi KLB pada umumnya belum dilakukan dengan baik, terutama di Puskesmas, belum semua unit pelayanan kesehatan baik pemerintah dan swasta berkontribusi melaporkan bila menemukan campak.

Levi Silalahi, Berbagai Sumber

(copied from www.tempointeraktif.com)
Jum'at, 26 Maret 2004 11:07 WIB

Google Translate

Adventist News Network

ReliefWeb: Latest Vacancies (in UN--United Nations)