Tuesday, November 21, 2006

Campak

Campak

Program pencegahan dan pemberantasan campak di Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB). Hasil pemeriksaan sample darah dan urine penderita campak pada saat KLB menunjukkan, Igm positip sekitar 70–100 persen. Selama 1992–1998, berdasarkan laporan rutin Puskesmas dan rumah sakit (kelengkapan laporan rata-rata Puskesmas sekitar 60 persen dan rumah sakit 40 persen) rata-rata kejadian untuk semua kelompok umur cenderung menurun. Tapi selama 1997-1999, menjadi cenderung meningkat. Kemungkinannya berkaitan dengan dampak krisis pangan dan gizi. Hanya saja, hal itu belum diteliti.

Sidang WHA 1988, menetapkan kesepakatan global untuk membasmi polio atau Eradikasi Polio (Rapo), Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) dan Reduksi Campak (RECAM) pada 2000. Amerika, Australia dan beberapa negara lainnya telah memasuki tahap eliminasi campak. Pada sidang CDC/PAHO/WHO 1996 menyimpulkan, campak dimungkinkan untuk dieradikasi, karena satu-satunya pejamu (host) atau reservoir campak hanya pada manusia dan adanya vaksin dengan potensi yang cukup tinggi dengan effikasi vanksin 85 persen. Diperkirakan eradikasi akan dapat dicapai 10–15 tahun setelah eliminasi.
Program imunisasi campak di Indonesia sendiri dimulai pada 1982 dan masuk dalam pengembangan program imunisasi. Pada 1991, Indonesia dinyatakan telah mencapai UCI secara nasional. Keberhasilan Indonesia itu memberikan dampak positif terhadap kecenderungan penurunan kejadian campak, khususnya pada Balita dari 20.08/10.000 – 3,4/10.000 selama 1992–1997. Walaupun imunisasi campak telah mencapai UCI, di beberapa daerah masih terjadi KLB campak, terutama di daerah dengan cakupan imunisasi rendah atau daerah kantong.

Tentu saja, di beberapa desa tertentu masih sering terjadi KLB campak. Asumsi terjadinya KLB campak di beberapa desa, itu datang karena cakupan imunisasi yang rendah (90 persen) dan masih rendahnya vaksin effikasi di desa itu. Rendahnya vaksin effikasi itu dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya pengelolaar yang kurang baik: rantai dingin vaksi dibawa kelapangan, penyimpanan vaksin di Puskesmas, cara pemberian imunisasi kurang baik dan lainnya.
Selama 1998-1999, berdasarkan hasil penyelidikan lapangan KLB campak yang dilakukan Subdit Surveilans dan Daerah, kasus-kasus campak lantaran belum mendapat imunisasi cukup tinggi, mencapai sekitar 40–100 persen dan mayoritas adalah balita (>70 persen).
Sementara itu, selama 1994-1999, frekuensi KLB campak berdasarkan laporan seluruh provinsi se-Indonesia ke Subdit Surveilans lewat laporan (W 1), berfluktuasi dan cenderung meningkat pada periode 1998–1999: dari 32 kejadian menjadi 56 kejadian. Angka frekuensi itu sangat dipengaruhi intensitas laporan W1 dari provinsi atau kabupaten/kota. Daerah-daerah dengan sistern pencatatan dan pelaporan Wl yang cukup intensif dan mempunyai kepedulian cukup tinggi terhadap pelaporan Wl KLB, mempunyai kontribusi besar terhadap kecenderungan meningkatnya frekuensi KLB campak di Indonesia, seperti Jawa Barat, NTB, Jambi Bengkulu dan Yogyakarta.
Dari sejumlah KLB yang dilaporkan ke Subdit Surveilans, diperkirakan KLB campak sesungguhnya terjadi jauh lebih banyak. Artinya, masih banyak KLB campak yang tidak terlaporkan daerah dengan berbagai kendala. Walaupun frekuensi KLB campak yang dilaporkan itu mengalami peningkatan, tapi jumlah kasusnya cenderung menurun dengan rata-rata kasus setiap KLB selama 1994–1999, yaitu sekitar 15–55 kasus pada setiap kejadian. Berarti besarnya jumlah kasus setiap episode KLB campak selama periode itu, rata-rata tidak lebih dari 15 kasus.
Dari 19 lokasi KLB campak yang diselidiki Subdit Surveilans, daerah dan mahasiswa FETP (UGM) selama 1999, terlihat attack-rate pada KLB campak dominan pada kelompok umur balita. Angka proporsi penderita pada KLB campak 1998–1999 juga menunjukkan proporsi terbesar pada kelompok umur 1–4 tahun dan 5–9 tahun bila dibandingkan kelompok umur lebih tua (10–14 tahun).
Pada kelompok KLB campak telah dilakukan pengambilan spesimen serologis dan urine untuk memastikan diagnosa lapangan dan mengetahui virus campak. Hasil pemeriksaan sampel serologis dan urine penderita campak pada 12 lokasi KLB campak di beberapa daerah selama 1998–1999 yang diperiksa Puslit. Penyakit Menular Badan Litbangkes RI, menunjukkan IgM positif sekitar 70–100 persen. Angka itu mengindikasikan ketajaman diagnosa campak di lapangan pada saat KLB berlangsung.
Angka fatalitas kasus (AFP atau CFR) campak di rumah sakit dan pada saat KLB terjadi selama 1997–1999 cenderung meningkat, masing-masing dari 0,1–1,1 persen dan 1,7–2,4 persen. Memang, kecenderungan peningkatan CFR ini perlu pengkajian yang mendalam dan komprehensif.

Apa dan Bagaimana Mengatasi Campak?
Campak adalah penyakit yang sangat menular pada masa anak-anak dan juga menyerang orang dewasa. Gejala-gejala campak cukup menakutkan dan anak-anak yang kurang gizi mudah terserang komplikasi yang fatal. Penyebab penyakit ini adalah infeksi virus rubeola yang kemudian ditularkan lewat batuk, bersin dan tangan yang kotor oleh cairan hidung.
Gejalanya:
- Demam tinggi, paling tinggi dicapai setelah 4 hari
- Bintik putih pada bagian dalam pipi di sebelah depan gigi premolar
- Mata merah, berair
- Tenggorokan sakit, pilek, batuk yang khas kering dan keras
- Pada beberapa anak terdapat muntah-muntah dan diare
- Bintik yang khas ini muncul di belakang telinga, menyebar ke muka kemudian ke seluruh badan.

Komplikasinya:
- Infeksi telinga bagian tengah
- Bronkhitis (infeksi saluran pernafasan bagian bawah)
- Pneumonia (infeksi paru-paru)
- Encephalitis (radang otak)

Yang bisa kita lakukan adalah:
- Tinggal dirumah sampai penyakit tidak menular lagi
- Istirahat dan minum banyak cairan
- Minum obat anti demam
- Minum obat batuk
- Periksa dokter, bila menderita sakit telinga, keluar cairan dari telinga, demam terus-menerus, kejang-kejang atau mengantuk

Tindakan dokter:
- Menyingkirkan komplikasi
- Mengobati komplikasi bila ada
- Merujuk ke rumah sakit bila perlu.

Pencegahannya:
imunisasi terhadap penyakit campak pada umur 1-2 tahun

Pemberantasan campak meliputi beberapa tahapan, dengan kriteria pada tiap tahap yang berbeda-beda:
a. Tahap reduksi campak yang dibagi dalam dua tahap:
- Tahap pengendalian campak. Pada tahap ini terjadi penurunan kasus dan kematian, cakupan imunisasi >80 persen, dan interval terjadinya KLB berkisar antara 4–8 tahun.
- Tahap pencegahan KLB. Pada tahun ini cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, dan interval terjadinya KLB relative lebih panjang.
b. Tahap Eliminasi Pada tahap eliminasi, cakupan imunisasi sudah sangat tinggi (>95 persen), dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah ternadi. Anak-anak yang dicurigai tidak terlindung (susceptible) harus diselidiki dan mendapat imunisasi tambahan.
c. Tahap Eradikasi Cakupan imunisasi tinggi dan merata, dan kasus campak sudah tidak ditemukan. Transmisi virus sudah dapat diputuskan, dan negara-negara di dunia sudah memasuki tahap eliminasi.

Pada TCG Meeting, Dakka, 1999, menetapkan Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pencegahan terjadinya KLB. Reduksi campak bertujuan menurunkan angka insidens campak sebesar 90 persen dan angka kematian campak sebesar 95 persen dari angka sebelum program imunisasi campak dilaksanakan. Di Indonesia, tahap reduksi campak dengan insiden diperkirakan menjadi 50/10.000 balita dan kematian 2/10.000 (berdasarkan SKRT 1982).

Reduksi campak sendiri mempunyai lima strategi, yaitu:
- Imunisasi Rutin 2 kali, pada bayi 9-11 bulan dan anak Sekolah Dasar Kelas I (belum dilaksanakan secara nasional) dan Imunisasi Tambahan atau Suplemen.
- Surveilans Campak.
- Penyelidikan dan Penanggulangan KLB
- Manajemen Kasus
- Pemeriksaan Laboratorium

Tapi, surveilans dalam reduksi campak di Indonesia masih belum sebaik surveilans eradikasi polio. Kendala utama yang dihadapi adalah kelengkapan data atau laporan rutin rumah sakit dan Puskesmas yang masih rendah, beberapa KLB campak yang tidak terlaporkan, pemantauan dini (SKD–KLB) campak pada desa-desa berpotensi KLB pada umumnya belum dilakukan dengan baik, terutama di Puskesmas, belum semua unit pelayanan kesehatan baik pemerintah dan swasta berkontribusi melaporkan bila menemukan campak.

Levi Silalahi, Berbagai Sumber

(copied from www.tempointeraktif.com)
Jum'at, 26 Maret 2004 11:07 WIB

1 comment:

Anonymous said...

http://lumerkoz.edu Excellent site. It was pleasant to me. http://www.lovespeaks.org/profiles/blogs/buy-elavil rintys revises http://soundcloud.com/lorazepams marchapril pressurethat http://www.ecometro.com/Community/members/Buy-Cephalexin.aspx wastecity nghe http://www.ecometro.com/Community/members/Buy-Sertraline.aspx irishman http://www.lovespeaks.org/profiles/blogs/buy-flagyl ofmrs badi

Google Translate

Adventist News Network

ReliefWeb: Latest Vacancies (in UN--United Nations)